MENDURHAKAI ANAK

Seorang laki-laki  datang menghadap Umar bin Khathab. Ia bermaksud mengadukan anaknya yang telah berbuat durhaka kepadanya dan melupakan hak-hak orang tua. Kemudian Umar mendatangkan anak tersebut dan memberitahukan pengaduan bapaknya.
   
Anak itu bertanya kepada Umar bin Khatab, “Wahai  Amirul mukminin, bukankah anak pun mempunyai hak-hak dari bapaknya?”
Ya, tentu,” jawab Umar tegas,
Anak itu bertanya lagi, “Apakah hak-hak anak itu, wahai Amirul mukminin?”
“Memilihkan ibunya, memberikan nama yang baik, dan mengajarkan Al-Qur’an kepadanya, “Jawab Umar menunjukkan.
Anak itu berkata mantap,”Wahai Amirul Mukminin sesungguhnya ayahku belum pernah melakukan satu pun di antara semua hak itu. Ibuku adalah seorang bangsa Ethiopia dari keturunan yang beragama majusi. Mereka menamakan aku ju’al (kumbang kelapa), dan ayahku belum pernah mengajarkan satu huruf pun dari Al-Qur’an.”
Umar bin khthab menoleh kepada laki-laki itu,dan berkata tegas.
“Engkau telah datang kepadaku mengadukan kedurhakaan anakmu, padahal, engkau telah mendurhakainya sebelum dia berbuat buruk kepada mu.”
Kata-kata umar bin khathab ini mengingatkan kepada kita-para orang tua-untuk banyak bercermin sebelum mengeluh kepada anak-anak kita, selayaknya kita bertanya apakah telah memenuhi hak-hak meraka, padahal kitalah yang sesungguhnya berbuat durhaka kepada anak kita.
jangan-jangan kita mengeluh kenakalan mereka, padahal kitalah yang kurang memiliki kelapangan jiwa dalam mendidik dan membesarkan mereka.
Kita sering berbicara kenakalan anak, tapi lupa memeriksa apakah sebagai orangtua, kita tidak melakukan kenakalan yang besar.
Kita sering membuat mereka menuruti apa yang kita inginkan,  dengan dalih KETAATAN. Tetapi sebagai orang tua, kita sering lupa bertanya apakah kita telah memiliki cukup kelayakan untuk di taati.
Kita ingin mereka mengerti keinginan orang tua, tapi tanpa mau bersaha memahami pikiran anak, kehendak anak dan jiwa anak.
Layanan Pendidikan yang kita berikan pada mereka hanyalah untuk memuaskan diri kita, atau sekadar membebaskan kita dari sesumpekan lantaran dari awal sudah merasa repot dengan kehadiran mereka. Bahkan, ada orangtua yang telah merasa demikian repotnya menghadapi anak, ketika anak itu sendiri belum lahir.
Teringatlah saya ketika suatu hari pergi bersama istri dan anak saya keempat saya yang masih bayi waktu itu dan sedang lucu-lucunya.
Saat itu, seorang ibu yang berpenampilan modis bertanya kepada  istri saya. “Anak pertama, Bu?”
“Bukan,” jawab istri saya, “Ada kakaknya, Cuma nggak ikut,”
“Ou….. memangnya, berapa anaknya, bu?” Tanya ibu itu segera.
“Baru empat. Ini anak yang keempat,”jawab saya ikut menimpali.
“Empat???” Tanya ibu itu dengan mata terbelak. Tamppaknya ia kaget sekaligus heran. Kemudian dia segera mengajukkan pertanyaan berikutnya, “Yang paling besar sudah kelas berapa?”
“TK A.Nol kecil,” jawab istri saya.
Ibu itu tampak sangat kaget. Begitu kagetnya,sehingga nyaris berteriak,” Ya,ampun……..Empat! Apa nggak repot itu? Saya punya anak satu saja rasanya sudah repot sekali, ributnya gak mau diatur. Apalagi kalau empat. Nggak terbayang, deh. Bisa-bisa mati berdiri saya.”
Ungkapan spontan ibu ini adalah cermin kita, cermin yang menggambarkan betapa banyak orang yang menjadi orangtua semata-mata karena dia punya anak. Bukan gambaran tentang kematangan jiwa ata kualitas kasih sayang. Anak hadir dalam kehidupan mereka semata-mata sebagai risiko menikah, sehingga sinar mata anak-anak yang masih jernih tanpa dosa tak mapu membuat orangtuanya terhibur.
Terkadang orangtua sudah lama merindukan anak. Tetapi ia memiliki gambaran sendiri tertang anak seperti apa yang harus lahir melalui rahimnya, sehingga ia kehilangan perasaan yang tulus saat Allah benar-benar mengaruniakan anak. Terliibh ketika yang lahir tidak sesuai harapan. Orang tua yang sudah terlalu panjang angan-angannya, bisa melakukan penolakan psikis terhadap anak kandungnya sendiri. Atau memperlakukan anak itu agar sesuai dengan harapannya. Inginnya anak perempuan, yang lahir laki-laki. Maka anak itu pun diperlakuan seperti perempuan, sehingga ia berkembang sebagai bencong. Atau sebaliknya, anak itu menjadi bulan-bulanan kekesalan orangtua, bahkan hingga ketika anaknya sudah memiliki anak atau sudah menjadi orangtua.
Kejadian semacam ini tidak hanya sekali terjadi di dunia. Karena yang lahir tidak sesuai harapan, kadang anak akhirnya menjadi tempat menimpakan kesalahan. Apa pun yang terjadi, anak inilah yang menjadi kambing hitam. Setiap ada yang salah, anak inilah yang harus ikut menanggung kesalahan. Atau bahkan dia yang harus memikul seluruh kesalahan, meskipun bukan dia penyebanya.
Terkadang bentuknya tidak sampai seburuk itu, tetapi akibatnya tetap saja buruk. Anak merasa tertolak. Ia tidak kerasan di rumah, meskipun rumahnya menawarkan kemegahan dan kesempurnaan fasilitas. Ia merasa seperti tamu asing di rumahnya sendiri.
Saya teringat dengan cerita seorang kawan yang mengurusi anak-anak jalanan. Suatu ketika ia menemukan seorang anak yang babak belur mukanya dihajar sesama anak jalanan karena berebut lahan di sebuah stasiun. Wajahnya sudah nyaris tak berbentuk. Anak ini kemudia ia selamatkan. Ia rawat dengan baik dan penuh kasih sayang. Setelah kondisi fisiknya pulih dan emosinya pun sudah cukup baik, ia tawarkan kepada anak itu dua pilihan’ dipulangkan ke rumah orangtua atau dikirim ke sebuah lembaga pendidikan.
Seperti anak-anak lain di muka bumi, selalu ada perasaan rindu pada orangtua, maka ia mengajukan pilihan di pulangkan ke rumah orangtua.
Staf dari kawan saya ini kemudian berangkat mengantarkan pulang anak tersebut ke sebuah kota di Jawa Tengah. Nyaris tak percaya, orangtua anak itu ternyata memiliki kedudukan yang cukup terhormat. Ayahnya seorang jaksa dan ibunya seorang kepala sekolah sebuah SMP. Rumahnya? Jangan Tanya. Mereka sangat kaya. Cuma satu yang mereka tidak punya: perasaan.
Melihat anaknya yang sudah dua tahun meniggalkan rumah, tak ada airmata haru yang menyambutnya. Justru perkataan yang sangat tidak bersahabat, “Ngapain kamu pulang?”
Melihat sambutan yang sangat tidak bersahabat ini, staf teman saya segera mengajak anak itu kembali ke Jogja. Tak ada airmata yang melepas. Tak ada rasa kehilangan dari orangtua saat anak itu kembali meninggalkan rumah. Yang ada hanyalah perasaan remuk pada diri anak. Di saat ia ingin dididik oleh orangtua yang menjadi pendidik si SMP, yang ia dapatkan justru sikap sangat kasar.
Benar-benar perlakuan yang sangat kasar, menyakitkan dan menghancurkan perasaan. Jangankan anak yang masih usia SD itu, pengantarnya yang sudah dewasa pun merasakannya sebagai penghinaan luar biasa. Penghinaan tanpa perasaan, tanpa nurani dan tanpa kekhwatiran akan beratnya tanggung jawab di Hari Kiamat kelak. Karena itu, tak ada pilihan yang lebih baik kecuali menyingkirkan si anak dari orngtuanya yang durhaka.
Kisah anak jalanan ini hanyalah satu di antara sekian banyak kedurhakaan orangtua pada anak. Tak sedikit anak jalanan yang lari dari rumah dan lebih memilih kolong jembatan sebagai tempat tinggal, padahal orangtuanya memilliki kedudukan yang sangat tinggi dan kekayaan yang besar. Seorang anak jalanan yang sudah direhabilitasi, orangtuanya ternyata anggota dewan di suatu daerah.
Apa yang terjadi sesungguhnya? Banyak hal, tetapi semuanya bermura pada hilangnya kesadaran bahwa anak-anak itu tidak hanya perlu dibesarkan, tetapi harus kita pertanggung jawabkan ke hadapan Allah Ta’ala. Hilangnya kesabaran menghadapi anak, kadang karena lupa bahwa diantara keutamaan menikah adalah menjadikannya sebagai sebab untuk memperoleh ketuturan. Kita membatasi berapa anak yang harus kita lahirkan demi alasan kesejahteraan dan kemakmuran, sembari tanpa sadar kita melemahkan kesabaran dan kegembiraan kita menghadapi anak-anak.
Dulu, sebagian orangtua kita bekerja sambil memikirkan nasib anak-anak kelak setelah ia mati; masih samakah imannya? Sekarang banyak orangtua mendekap anaknya, tetapi pikirannya diliputi kecemasan jangan-jangan satu peluang karer terlepas akibat kesibukan mengurusi anak.
Dulu orangtua mengecup keningnya untuk mendoakan anak; sekarang banyak orangtua meminta anak berdo’a untuk kesuksesan karier orangtuanya. Astaghfirullah. .........ya Allah. ....
By : Ust.Aly Motivator Ideologis ( PEMBINA RUMAH DAKWAH INDONESIA )
WA 081313999801
BBM : 79541FA2
-------------------------------------
Ingin BERDAKWAH tapi gak punya cukup waktu dan ilmu ? 
silahkan bergabung bersama RUMAH DAKWAH INDONESIA

Jadikan HARTA kita menjadi BEKAL jangan jadikan sebagai BEBAN
UMUR kita yang TERBATAS membuat AMAL SHOLEH kita juga TERBATAS, Bersama DAKWAH, UMUR AMAL SHOLEH KITA MENJADI TAK TERBATAS, karena akan terus MENGALIR bersama GENERASI PENERUS dan JAMAAH kita hingga Akhir Zaman, Allahu Akbar.
Caranya ?
Layangkan Infaq fi Sabiilillah, Zakat dan Sedekah kita untuk DAKWAH bersama Rumah Dakwah Indonesia, melalui Rekening :
BCA : 230.3888896 a.n. Yayasan Bantu
BCA : 230.0300.807 a.n. Yayasan Husnul Khotimah
MANDIRI : 156.0003 296 409 a.n Yayasan Husnul Khotimah
MU'AMALAT : 305.0033 975 a.n Yayasan Husnul Khotimah
BNI : 018 4300 117 a.n. Muhammad Aly
BRI : 1169 0100 102 7505 a.n. Muhammad Aly
CARA KONFIRMASINYA ?
Transfer dana, lalu ketik pesan SMS/WA : " Bismillah, nama, niat Infaq Fi Sabiilillah Program BANTU SEJUTA DAI Rp...............Karena Allah SWT demi kemuliaan Islam dan Kaum Muslimin ". Lalu kirim SMS/WA ke 081313999801 atau BBM ke 79542FA2
Atau datang langsung ke :
KANTOR SEKRETARIAT :
Gedung NSC Lt.2 Jl.Bandung Blok II No.139 Perum Kotabaru Cibeureum-Tasikmalaya
Phone : 0256-2351814
MARKAZ PUSAT :
Pesantren Internasional IBNU SIENA, Jl.Siliwangi no.100 Tasikmalaya Phone : 0256-2351814, 081313999801

Website : www.rumahdakwahindonesia.blogspot.com
FB : 
www.facebook.com/rumahdakwahindonesia

BBM : 79542FA2
WA : 081313999801